Rabu, 13 Januari 2016

Potret Seorang Guru #OneDayOnePost #HariKetiga


Ayla Cleopatra adalah sesosok gadis berambut keriting dan mempunyai pipi yang chubby. Dia masih berumur lima tahun. Sayangnya, dia sudah ditakdirkan sebagai anak yatim piatu. Kini, dia tinggal di rumah Bibi Lea. Meskipun hidup sebatang kara, Ayla tidak kekurangan kasih sayang. Bibi Lea sudah menganggap Ayla sebagai anaknya sendiri. Ayla menikmati masa kecilnya dengan penuh kebahagiaan.
Ayla masih sering menanyakan orangtuanya. Maklum, dia menjadi yatim piatu sejak umur 3 tahun. Bibi Lea menjelaskan yang sebenarnya. Orangtua Ayla sudah damai di surga.
***
Menginjak usia 16 tahun, Ayla mulai bertanya-tanya tentang arti namanya, kenapa ada nama Cleopatra? Setelah banyak membaca, Ayla mengetahui bahwa Cleopatra adalah Ratu Mesir yang sangat cantik. Apakah dia akan secantik Ratu Cleopatra? Dia memandang cermin, ada pantulan bayangan dirinya. Benar, dia mewarisi mata indah ibunya.
“Berarti aku adalah titisan seorang Ratu Mesir,” gumamnya dalam harap.
***
Ayla bergegas berangkat ke sekolah. Dia harus berjalan kaki menuju sekolahnya. Cukup menguras tenaga. Di tengah perjalanan, ada mobil yang berhenti, ternyata Sonya, teman Ayla di sekolah.
“Ay, ayo bareng sama aku saja.”
“Terima kasih, Sonya. Aku jalan kaki saja.”
“Sudahlah Ay, ini sudah hampir jam 07.00, nanti kamu telat.”
“Baiklah, terima kasih Sonya,” Ayla tersenyum manis.
Ayla belum pernah naik mobil semewah ini. Pantas saja, Sonya berasal dari kalangan elite. Naik mobil mewah merupakan rutinitas setiap hari. Namun, Sonya tetap rendah hati. Akhirnya, mereka tiba di sekolah bersama-sama.
Ayla masuk kelas, Bu Guru meminta siswa-siswa untuk mengumpulkan PR. Dia membuka tas, dia yakin telah mengerjakannya. Namun, buku PR tersebut tidak ada di tas. Apa jangan-jangan tertinggal di rumah?
Ayla dihukum untuk berdiri di bawah tiang bendera. Tiba-tiba langit mendung, hujan pun turun. Hukuman belum usai. Dia kehujanan. Dia hampir pingsan.
Saat Ayla merasa dunia sedang berputar-putar, ada seorang laki-laki bernama Arman memayungi Ayla dengan payung warna biru. Arman adalah anak penjaga sekolah. Usianya sekitar 17 tahun. Arman membawa Ayla berteduh di kantin.
“Kamu tak apa?” tanya Arman sambil memberikan secangkir teh hangat.
“Iya Kak, aku tidak apa-apa. Terima kasih, Kak.” 
“Guru itu sangat keterlaluan. Aku harus melaporkannya ke Kepala Sekolah.”
“Tidak usah, Kak. Aku pantas mendapatkannya.”
“Ini tetap saja melanggar HAM.”
“Apa Kakak tidak melanjutkan sekolah?”
“Buat apa aku sekolah? Hanya menambah beban orang tua saja. Ijazah SMP sudah cukup bagiku.”
“Namun, kita harus belajar.”
“Iya, belajar bisa dari mana saja, aku belajar dari pengalaman hidup. Dunia pendidikan itu kejam.”
“Jangan berkata seperti itu Kak,”
“Buktinya kamu diperlakukan sewenang-wenang oleh oknum pendidikan. Apa menghukum anak didik berdiri di depan tiang bendera, dan membiarkan hujan turun menyapa tubuhmu, adalah termasuk pendidikan?”
“Itu memang salahku.”
“Jangan tanya siapa yang salah, guru juga selalu punya alasan untuk selalu menjadi benar.”
“Maaf Kak, sekarang Kakak sudah kerja?”
“Iya, selain membantu ayah di sini, aku juga menjadi penjaga warnet.”
“Sedari tadi kita belum kenalan ya, namaku Ayla.”
“Oh, ya…namaku Arman.”
***
Sepulang sekolah, Ayla merenung. Dia masih beruntung karena memiliki Bibi yang akan menanggung biaya pendidikannya sampai ke jenjang SMA. Sedangkan untuk perguruan tinggi, dia harus mencari beasiswa. Maklum, Bibi Lea juga mempunyai tiga anak yang mempunyai hak pendidikan yang sama juga.
Kenapa Kak Arman begitu anti terhadap pendidikan? Apa ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia? Ayla harus bertanya kepada seseorang. Ya, Pak Badrun. Dia adalah guru favorit Ayla di kala SMP. Rasanya sudah bertahun-tahun, Ayla tidak bertemu dengan Pak Badrun. Sore ini, Ayla akan mengunjungi Pak Badrun.
***
“Permisi Pak, bolehkah Ayla masuk?”
“Ya, tentu saja Ayla. Apa kabar?
“Alhamdulillah, baik Pak. Bagaimana dengan kabar Bapak?”
“Seperti yang kamu lihat. Meski rambut Bapak berwarna putih, tapi jasmani masih sehat wal’afiat.”
“Pak, maaf ada yang hal yang harus saya tanyakan.”
“Ya, silakan.”
“Kenapa ada orang yang berpandangan negatif terhadap dunia pendidikan?”
“ Itu tergantung individu, Ayla. Setiap orang punya cara pandang tersendiri.
“Apa karena dunia pendidikan itu kejam?”
“Ay, kenapa kamu berkata seperti itu?”
“Temanku berkata seperti itu, Pak.
“Apa kamu memandang Bapak sebagai pribadi yang kejam?”
“Bapak adalah sosok guru yang teladan. Bapak adalah salah satu guru favorit saya.
“Itulah, masih banyak guru yang pantas dijadikan sebagai teladan. Kamu tahu perbedaan Guru Bangsa dan Guru Bangsa?”
“Tidak Pak,” Ayla menggeleng.
“Tidak setiap Guru Besar bisa menjadi Guru Bangsa. Contoh Guru Bangsa adalah Gusdur, Pak Habibie, Bung Karno, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak yang lainnya. Mereka mengajarkan ilmu tidak secara formal di sekolah. Mereka mengajarkan ilmu di mana saja, tak pandang anak pejabat atau anak petani melarat. Mereka mengajarkan ilmu melalui sifat-sifat mulia yang pantas dijadikan teladan bagi warga  Indonesia. Perjuangan mereka ikhlas demi mengantar Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat di mata dunia. Jadi, apa sekarang kamu sudah paham?”
“Sekarang saya mengerti Pak. Terima kasih penjelasannya. Penjelasan Bapak kali ini benar-benar memberi pencerahan untuk saya. Restuilah langkah saya untuk menggapai impian menjadi guru yang dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya. Saya permisi pulang. Pak.”
“Semoga sukses, Ayla, dan tetaplah rendah hati,” nasihat Pak Badrun, sembari mengantar sampai ke depan pintu.
***
Sekarang Ayla mengerti. Dunia pendidikan tak selamanya muram, tergantung sudut pandang masing-masing individu.  Mungkin peraturan di sekolah lebih ketat, sehingga menuntut guru-guru untuk bersikap tegas. Guru juga harus punya wibawa, agar dihormati oleh murid-muridnya. Walaupun kita mengenal ada sosok guru yang tegas, itu bukan berarti galak atau kejam. Itu mungkin cara yang terbaik, agar murid-murid tidak manja dan patuh terhadap peraturan.
Namun, di balik sikap tegasnya tersebut, tersimpan pribadi yang lembut dan bersahaja. Guru selalu berdo’a agar murid-muridnya menjadi pintar, layaknya do’a orangtua kepada anaknya sendiri.
Ayla sudah membulatkan tekad. Dia bercita-cita menjadi seorang guru. Dia akan rajin belajar dari sekarang Dia ingin berjuang di jalur pendidikan. Dia ingin menjadi guru yang disayangi, bukan guru yang ditakuti.


Biodata Penulis:
                 Yumeina Ryuri terlahir di Pati, Jawa Tengah pada tanggal 13 Juli 1991. Gadis yang punya hobi membaca dan menulis ini, mempunyai nama asli Rindha Julia. Aktif dalam kepengurusan FLP Pati. Saat ini, dia menjadi Pengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah di Pati.Yumei bercita-cita untuk menjadi penulis dan pendidik yang profesional. Karya Yumei telah tergabung di beberapa antologi. Yumei dapat dihubungi melalui facebook: Rinz Yumei-na Ryuri, twitter: @YumeinaRyuri atau melalui email dengan alamat: rinz_ryuri@yahoo.com


(Ditunggu kripik (kritik dan saran) pedasnya yaaa.....!!! )


This entry was posted in

10 komentar:

  1. Mantap, guru memang seharusnya sosok yg selalu dirindukan siswa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, seharusnya memang seperti itu...
      Selain sebagai pendidik, guru juga berperan sebagai sahabat anak (asalkan tetap menghormati seorang guru)

      Hapus
  2. Mantap, guru memang seharusnya sosok yg selalu dirindukan siswa.

    BalasHapus
  3. Tegas sih boleh tapi kalo anak didik dibiarkan hujan hujanan sebagai Hukuman?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadinya sakit...
      Makanya skrg tindakan mem'bully dalam OSPEK ditiadakan...
      Itu sudah dihimbau oleh Pak Anis Baswedan di awal Pelajaran 2015/2016

      Hapus
  4. Di cerpen ini mungkin hukumannya sudah umum, hanya saja akan menjadi keliru kalau sampai dibiarkan hujan hujanan, meski begitu kadang hal seperti ini bisa saja terjadi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyya... Terkadang menghukum anak juga harus sesuai dengan kapasitasnya. Nyatanya, banyak kasus guru di sekolah yang kurang benar memperlakukan siswa.

      Hapus
  5. Cerpen yang mendidik. Tapi rasa-rasanya kok agak flat gimana gitu. Ada deskripsi yang tak begitu penting soal Ayla di awal. But, Keep writing and keep inspiring. Salam Cool. :)

    BalasHapus
  6. Cerpen yang mendidik. Tapi rasa-rasanya kok agak flat gimana gitu. Ada deskripsi yang tak begitu penting soal Ayla di awal. But, Keep writing and keep inspiring. Salam Cool. :)

    BalasHapus
  7. Iyya...saya rasa juga gitu Ken...Ini aslinya late-post ... Cerpen ini udah nangkring di laptop setelah sekian lama. Dulunya pernah aku kirim di sebuah event yang bertemakan "Arti sebuah Nama". Redaksi awalnya sich bahas nama, akhirnya aku edit judulnya dan fokus tentang tema guru. (Dulu aku belum paham tentang cara membuat opening yang 'cetar')

    BalasHapus