Rabu, 06 Agustus 2014

CERPEN : Bukan Janji Merpati

Bukan Janji Merpati
Oleh Yumeina Ryuri

Seringkali kita mendengar ungkapan “Merpati tak Pernah Ingkar Janji”. Sebegitu setia sepasang merpati dalam ikatan asmara, hingga tak ada niat untuk berpisah. Sayangnya, kita manusia, yang terkadang lupa atau khilaf. Namun, kita harus selau bersyukur karena kita ditakdirkan sebagai makhluk paling sempurna di alam semesta.
Kisah asmaraku pun sama, kadang pasang, kadang tenggelam. Namun, aku tak pernah menyalahkan siapapun atas tragisnya drama cintaku ini. Hal ini bermula saat aku mengenal Maulana Adi Putra, seseorang yang mampu membuat hariku berbunga-bunga. Aku sempat memujanya bagai dewa, sebelum aku tersadar akan pedihnya cinta.
***
Lima tahun silam, kala itu aku masih berseragam putih abu-abu. Aku belajar kelompok di rumah teman, namanya Hesty. Di sana, aku bertemu dengan Maulana.
“Him, kamu bisa mengerjakan soal no 5?”
“Aduh Hes, soal ini sulit sekali.”
Gimana ya? “
“Tanya teman saja gimana?”
“Hmm…bentar Him, kamu tunggu sebentar ya…aku akan segera kembali.”
Lima menit kemudian, Hesty muncul dengan seseorang yang bertubuh tegap.
“Him, kenalin ini Maulana.”
“Aku Himawari, panggil saja Hima.”
“Aku Maulana. Cukup panggil aku Lana.”
Lana bagaikan dewa penolong untukku dan Hesty. Dia sangat jago sekali pelajaran Matematika. Diam-diam, aku curi-curi pandang melihat bening matanya.Aku benar-benar terpesona.
***
“Him, malam minggu kita ke bioskop ya?”
“Hmm…gimana yaa?”
“Sudah, ikut saja Him, Lana juga ikut kok.”
“Apa aku tidak mengganggu kalian berdua?”
“Hello Hima…memang kita pacaran? Aku udah anggap Lana sebagai saudara.”
“OK….deal.”
***
Di bioskop, kami bertiga menonton film bergenre romantis. Tanpa sengaja, aku melihat bulir bening di mata Lana. Dia sangat menghayati film yang sedang diputar. Aku jadi simpati terhadapnya. Hal itu menandakan bahwa dia adalah tipe cowok yang romantis.
Film usai, kami bertiga pulang. Lana berbisik lirih padaku, mengisyaratkan sesuatu,
“Him, minggu depan kita nonton bareng ya,”
“Bertiga maksudnya?”
“Hanya aku dan kamu.”
Aku mengangguk. Hesty tidak menyadari hal ini. Dia masih asyik dengan ponselnya, menyapa teman-temannya di dunia maya.
***
Sepulang dari bioskop, hubunganku dengan Lana semakin lengket bagai jenang. Meskipun belum ada kata jadian, setidaknya sinyal-sinyal asmara dengan lancar berkirim pesan. Sampai suatu sore, Lana mengajakku berjumpa di taman kota penuh bunga.
“Him, apa kamu suka hal-hal yang berkaitan tentang Jepang?”
“Ya…benar sekali.”
“Kamu bisa bahasa Jepang?”
“Lumayan, masih proses belajar. Memang ada apa?”
“Kamu pasti tahu artinya aishiteru[1] ‘kan?
“Artinya aku cinta kamu.”
“Aku juga cinta kamu, Him.”
Deg, Lana menatapku lekat. Aku terdiam membisu, mematung tanpa suara. Serasa ada angin segar yang merasuk ke dalam aliran darahku. Aku bahagia.
Aishiteru, Hima,” Lana mempertegas perasaanya sambil memberiku seuntai mawar merah.
Watashi mo[2], Lana.” aku tersipu malu.
***
Ternyata impian kami sama. Kami sama-sama ingin merasakan aroma bunga sakura di negeri aslinya. Kami ingin merasakan suasana hanami di bawah bunga sakura yang bermekaran. Kami ingin menonton bunraku dan kabuki di sebuah panggung pentas yang megah. Kami juga ingin memandang lepas keindahan gunung Fujiyama yang menyimpan legenda.
“Him, percayalah, aku akan membawamu terbang ke Negeri Sakura.”
“Janji?”                     
Lana mengangguk. Kami saling mengkaitkan jari kelingking pertanda pengikat janji. Semoga tak ada yang berniat untuk mengingkari.
***
Kami belajar Bahasa Jepang bersama-sama. Kami saling memberikan motivasi satu sama lain. Bahkan, kami pernah melakukan hal yang mustahil. Kami mengikuti kuis di media jejaring sosial yang berhadiah liburan ke Jepang. Hitung-hitung bisa ke Jepang secara gratis.
Mungkin nasib baik belum berpihak kepada kami. Namun, kami selalu percaya, banyak jalan menuju Jepang. Dengan usaha yang gigih, kami yakin akan menginjakkan kaki di Negeri Sakura.
***
Waktu melesat bagai anak panah. Kami sudah menanggalkan seragam putih abu-abu. Kami sudah lulus SMA. Lana berniat melanjutkan kuliah di Jakarta.
“Him, aku ingin bicara.”
“Iya, Lan, aku di sini.”
“Aku harus kuliah di Jakarta, demi cita-citaku untuk membahagiakan orang tua.”
“Itu berarti hubungan kita usai?” aku terlalu cepat mengambil kesimpulan.
“Bukan seperti itu Him, hanya hubungan kita menjadi LDR. Itu saja.”
LDR? Itu tak semudah yang kita bayangkan.”
“Kita harus mencobanya, Him.”
“Aku tak mau tersiksa karena menanggung rindu padamu.”
“Aku akan mengunjungimu setiap liburan semester.”
“Apa kamu sungguh-sungguh Lan?”
“Aku janji. Bukankah merpati tak ‘kan pernah ingkar janji?” Lana mencoba meyakinkanku.
Aku beranjak dari tempatku semula. Lana menghampiriku, tampaknya dia mengkhawatirkanku.
“Him, kamu baik-baik saja?”
“Lana, aku hanya butuh waktu untuk berpikir sejenak.”
“Baiklah, sebaiknya aku pulang agar kamu dapat berpikir dengan tenang.”
***
Keesokan harinya, aku menemui Lana. Aku punya cita-cita, Lana juga punya cita-cita. Jangan sampai keegoisanku menjadi penghalang untuk kesuksesan Lana.
“Lana, aku ikhlas kalau hubungan kita menjadi LDR.”
“Benar Him? Kau benar-benar Himawari-ku.”
“Aku tersadar Lan, aku tidak boleh egois. Aku akan selalu mendoakanmu, semoga cita-citamu dapat terwujud.”
“Terima kasih Him, di saat aku sukses nanti, kita akan bersama-sama mereguk manisnya pesona bunga sakura di negeri asalnya.”
“Semoga saja,” aku memeluk Lana, sekaligus melepas kepergiannya demi sebuah cita-cita mulia.
***
Satu tahun berlalu, dia masih sering mengirimiku sebuah kabar, meski hanya lewat dunia maya. Romantisme selama satu tahun ini masih terjaga. Aku juga sering mengiriminya puisi. Salah satu puisi teristimewa untuk Lana:
Aku dan kau nyata
Meski sering berjumpa di dunia maya
Aku di sini
Kau di sana
Kita sama-sama memandang cahaya rembulan
Masih di langit yang sama
Bersandar diri pada teduhnya pepohonan rindang
 ***
Tiga tahun kemudian, hubungan kita mulai renggang. Terakhir, dia memberi kabar bahwa dia baik-baik saja, tetapi dia tidak bisa sering-sering menghubungiku karena sedang menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Aku memakluminya, dan berharap dia segera kembali dengan gelar sarjana.
***
Tahun 2013, Lana tak memberi kabar sama sekali. Kami lost contact. Aku mendapat kabar dari Hesty bahwa Lana telah diwisuda. Aku turut bahagia mendengarnya.
Lana menghilang bagaikan di telan bumi. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi. Mana janji merpatimu, Lana? Apa mungkin aku yang terlalu bodoh, menanti seseorang yang jelas-jelas tak memperdulikanku. Kami memang tidak ditakdirkan untuk menjadi sepasang merpati.
Apakah sepahit ini obat yang harus aku telan? Mungkin ini akan membuat hatiku terasa sakit di awal, bagaikan tercabik-cabik oleh cakar yang tajam. Namun, seiring berjalannya waktu, tenagaku pasti pulih kembali menjadi sehat secara raga dan pikiran. Dan, sejauh ini, titik jenuh telah memberiku energi untuk menata hidupku kembali demi sebuah kesuksesan. Sudah cukup Lana, aku tak akan mencarimu lagi.
Sayup-sayup kudengar lagu Geisha-Lumpuhkan Ingatanku mengalun indah. Aku serasa jadi tokoh utama dalam lagu tersebut. Tuhan, lumpuhkanlah ingatanku tentang Lana, tentang sakit hati yang teramat perih ini. Biarkan kubawa perih ini sampai nafas terhenti.
***
Meski tak mudah melupakan Lana, aku harus mencoba menghapus memori-memori indah tentangnya. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, sebagai tour guide. Kebetulan saat ini aku sedang menjadi tour guide turis asal Jepang di Candi Borobudur, namanya Miyane.
Singkat cerita, Miyane memberiku tawaran untuk bekerja di Jepang, di perusahaan orangtuanya. Aku tak akan menyia-yiakan kesempatan ini. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk move on, terlepas dari ingatan tentang Lana.
***
Di Tokyo, aku tinggal di sebuah rumah sewaan. Miyane sering mengunjungiku. Aku bekerja di perusahaan fashion milik orang tua Miyane.
Minggu pagi, Miyane mengajakku jalan-jalan berkeliling Tokyo. Di tengah perjalanan, aku berhenti. Tampaknya aku melihat Lana. Iya, dia benar-benar Lana. Dia berjalan dengan gadis Jepang yang cantik parasnya. Pandangan kami saling beradu. Bagaikan duri yang menghujam jantungku.
Lana menghampiriku. Aku berbalik dan mempercepat langkahku. Lana berlari mengejarku. Aku memang terlalu lemah, sehingga dia mampu menghentikan langkahku. Dia berdiri di hadapanku.
“Hima, ternyata kamu di Jepang juga.”
“Iya, dan kita tak ada hubungan lagi.”
“Apa kamu marah padaku, Him?”
“Tanpa aku menjawabnya, kau pasti sudah tahu jawabannya.”
“Maafkan aku Him, ini karena keadaan.”
“Dan, kamu menikmatinya ‘kan?”
“Kamu salah Him, semua berjalan dengan cepat. Setelah aku lulus kuliah, aku mendapat panggilan kerja dari salah satu perusahaan di Jepang. Maafkan aku, Him.”
“Tiada guna lagi kata maaf, itu tak akan mampu mengobati sakit hatiku.”
“Him, izinkanlah aku untuk menebusnya.”
“Lihatlah gadis Jepang itu, Lana! Jangan karena keegoisanmu, kau menyia-yiakan dia. Cukup aku yang merasakan dikhianati. Jangan kau sakiti hatinya. Pergilah, Lan, jalan kita sudah berbeda.”
Gadis Jepang itu melambaikan tangan memanggil Lana. Lana menghampiri gadis Jepang itu. Meskipun sakit, aku rela. Aku ikhlas melihat Lana bersanding dengan gadis lain. Aku harus benar-benar melupakan Lana. Cinta sejati adalah merelakan orang yang kita sayangi bahagia, meski bukan dengan kita.



[1] Aku cinta kamu
[2] Aku juga




*Yumeina says:
Cerpen ini aku ikutkan dalam sayembara di dunia maya, tapi belum rezekinya untuk lolos. Jadi, aku posting saja di blog. Untuk tokoh Miyane, aku memang benar-benar mengenalnya melalui dunia maya. Dia adalah wanita Jepang yang sering share apapun ke aku. Aku sangat senang mengenalnya, sehingga dia masuk dalam tokoh fiksi karanganku.
Selamat membaca teman-teman, jangan lupa kritik dan saran untuk kesempurnaan karyaku 
:D

0 komentar:

Posting Komentar