Sabtu, 05 Maret 2016

Ide Kreatif Pejuang #ODOP



Hari ini cuaca cukup terang . Burung-burung di awan pun terlihat menari-nari riang.
Semoga hari in diberi kemudahan dalam beraktivitas. Terlebih lagi, harus ada komitmen menulis setiap hari. Maka dari itu, saya join ODOP (One Day One Post) yang diprakarsai oleh Bang Syaiha. Untuk tantangan bulan Maret ini, kami (para pejuang #ODOP) harus menulis dengan menyertakan 4 kata kunci yaitu kopi, burung, flashdisk, dan Presiden. Di sinilah sisi uniknya. Keempat kata tersebut secara harfiah tak ada hubungan satu sama lain . Sehingga para pejuang #ODOP perlu memutar otak untuk menggabungkan ke 4 kata tersebut menjadi satu bacaan.

Akhirnya muncullah ide-ide kreatif para pejuang #ODOP untuk memenuhi tantangan itu.
Kalimat yang awalnya tidak terpikirkan sebelumnya, menjadi logis setelah ada benang merahnya. Di situlah muncul sebuah makna yang tak terduga. Ternyata kata-kata yang terlihat tidak ada hubungnnya sama sekali akan mempunyai makna yang saling menyambung jika pintar mengolah kata.

Hidup kita memang harus ada challenge (tantangan). Sehingga hidup kita selalu ada orientasi untuk maju. Ibarat sekolah, perlu adamya serangkaian ujian untuk naik tingkat ke jenjang berikutnya. Kita tidak tahu seberapa pesat perkembangan hidup kita jika tidak ada tantangan yang harus ditaklukkan. Hidup kita pasti akan terasa hambar tanpa tantangan. Jika ada tantangan, life is never flat. 

#OneDayOnePost
#SetiapHari Menulis
#Hari_keempat
This entry was posted in

Flashdisk yang Hilang




“Bukan...bukan saya Bu yang mencurinya,” teriak Bayu dengan mengiba. Tiba-tiba satu kelas hening. Memang tidak ada yang menuduh Bayu dalam kasus pencurian flashdisk milik Intan. Namun, beberapa pasang mata tertuju ke arah Bayu ketika Bu Puspa menanyakan siapa pencurinya. Serta merta Bayu mengelak dengan disertai keringat yang bercucuran.
Kejadian hilangnya flashdisk tersebut baru disadari setelah pelajaran Olahraga. Ketika pelajaran olahraga, para siswa diwajibkan untuk pergi ke lapangan belakang sekolah. Saat itu sedang ada penilaian lomba lari.

Bayu mengaku sakit perut karena minum kopi semalam, sehingga dia memilih tinggal di kelas. Bu Puspa berinisiatif untuk menggeledah tas para siswa untuk menemukan pelakunya.
Intan sedari tadi menitikkan air mata. Bella, sahabat karibnya, berusaha meredam kesedihannya dengan menghiburnya. Harga sebuah flashdisk cukup mahal bagi Intan. Dia bukanlah anak Presiden. Dia hanyalah anak dari seorang Penjual Pakan Burung.

Dia mampu membeli flashdisk karena menyisihkan uang jajannya setiap hari. Dalam mata pelajaran TIK, semua siswa diwajibkan memiliki flashdisk untuk media penyimpanan file dari komputer.

Penggeledahan tas hasilnya nihil. Flashdisk masih belum ditemukan. Bu Puspa menggerakkan anak didiknya untuk mencari flashdisk yang hilang itu.

Tiba-tiba ada penjaga sekolah yang mengetuk pintu.
“Permisi Bu Puspa, saya menemukan benda ini di kamar mandi. Saya kurang tahu ini namanya apa, bentuknya kok aneh.”
“Lha ini dia yang kita cari-cari sedari tadi. Alhamdulillah Pak Karman menemukannya. Terima kasih Pak Karman.”

Intan menghapus air matanya. Seisi kelas juga meminta maaf kepada Bayu karena telah menuduh Bayu sebagai pencuri flashdisk.



#OneDayOnePost
#SetiapHariMenulis
#Maret_ke_3
This entry was posted in

Rabu, 02 Maret 2016

Bukan Filosofi Kopi

Rabu, 2 Maret 2016

Bukan Filosofi Kopi

Saya tidak bermaksud menandingi karya fenomal Dee Lestari yang berjudul “Filosofi Kopi.” Saya bukan penikmat kopi, apalagi harus membahas tentang kopi, bukan bidang saya.
Sebagai penikmat sastra, saya juga mengamati perkembangan novel karya Dee. Novelnya yang telah diangkat di layar lebar adalah “Filosofi Kopi.” Tentunya itu angin segar bagi para penikmat sastra maupun penggemar film. Film tersebut bisa menjadi tayangan berkualitas dari mulai rakyat jelata hingga sekelas Presiden. Sekarang, kedai kopi yang ada di tulisan fiksi Dee juga benar-benar menjelma sebagai Kedai Kopi “Filosofi Kopi”. Rancangan bangunannya juga dibuat semirip mungkin dengan karya fiksi Dee. Terobosan baru bagi penggemar kopi.

Biarlah urusan “Filosofi Kopi” menjadi urusan Dee semata. Saya mau membahas hal yang lain. Saya baru teringat kalau flashdisk saya terselip entah ke mana. Saya mulai mencari dan mencari hingga menemukan yang pasti. Saya mulai menulis dan terus menulis. Saya harus meluangkan waktu sejenak untuk menulis di sela kesibukan yang begitu padat. Hampir saja saya menyerah, tapi hati nurani saya melarangnya. Saya harus tetap menulis setiap hari. Saya harus tetap ikutan program ODOP bersama pejuang-pejuang lainnya. Maafkan saya jika saya kurang berkomitmen di bulan Februari. Mulai Maret ini, saya akan berjuang untuk mengikuti setiap tantangan yang telah diberikan. Dengan begitu, saya akan belajar banyak.  Masak iya, saya harus kalah dengan burung-burung kecil yang sedang belajar terbang.  Burung-burung tersebut dengan gigih belajar terbang agar bisa terbang ke angkasa luas. Begitu pula dengan saya. Saya harus belajar menulis dari sekarang atau saya tidak akan pernah mendapatkan kesempatan terbang untuk melihat dunia luar (terbang ke luar negeri dengan pesawat terbang).




#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari

#Hari_2

Welcome Back to ODOP Program

Selasa, 1 Maret 2016


Kicau burung yang syahdu membangunkanku dari tidurku. Aku menyeduh secangkir kopi hangat untuk menghangatkan suasana. Sebenarnya, aku kurang suka rasa pahit dari kopi asli. Sehingga perlu ada bahan campuran bahan lain yang menjadikannya lebih bernuansa. Tak jarang, ketika aku minum kopi, perutku serasa teriak. Perutku mulai bermasalah seketika itu juga.
Ada teman-teman saya yang penyuka kopi. Mereka bilang mereka lebih senang menikmati kopi hitam yang asli (tanpa gula, tanpa susu, tanpa cream, dll) . Dan, mereka melalui dengan aman-aman saja (tanpa perut sakit). Mungkin saja perutnya sudah mulai bersahabat.

Oke, sedikit dulu sharingnya tentang kopi. Aku bukan orang yang ahli dalam pembahasan tentang kopi.  Kemarin Minggu, saya menonton tayangan Mata Najwa di Metro TV. Sebenarnya itu adalah tayangan ulang dari malam sebelumnya. Pada saat itu, bintang tamunya adalah dua putra Presiden Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep dan Gibran. Mereka sangat low profile. Sungguh mirip sekali dengan karakteristik Pak Jokowi. Penampilan mereka juga sederhana tapi bersahaja. Mereka kreatif. Sang Kakak, Gibran, mempunyai wirausaha catering, sedari Martabak Markobar sampai paket catering yang diberi nama Cili Pari . Sang Adik, Kaesang masih kuliah di Singapura. Kedua anak Pak Jokowi sudah memegang prinsip yang teguh, mereka tidak mau terjun ke dunia politik seperti ayahnya. Kata Gibran, “Yang jadi presiden kan Ayah saya, sedangkan saya hanya anak biasa.” Benar sekali, Indonesia bukanlah kerajaan yang dipimpin secara turun temurun oleh satu keluarga. Hal itu pernah dialami Indonesia pada zaman orde lama. Segala asset negara dikuasai oleh satu penguasa beserta dengan keturunannya. Alhamdulillah, karakteristik presiden yang sekarang tampaknya berbeda dengan presiden-presiden berikutnya. Semoga Indonesia lebih baik. Memang sudah seperti itu seharusnya.

Kehidupan itu jangan seperti flashdisk. Seumpama flashdisk itu muat 18 giga, maka orang-orang akan mengisinya  dengan file hingga penuh. Seumpama kita punya jabatan tinggi, kita punya kesempatan yang bagus untuk memasukkan kerabat atau keluarga kita untuk menduduki posisi penting. Itulah pemikiran yang salah. Ujung-ujungnya KKN. Masihkan para pelaku KKN bisa bernapan di Era Presiden Jokowi?

#OneDayOnePost
#MenulisSetiapHari
#Hari_1