Assalammualaikum, wr., wb.,
Alhamdulillah masih bisa posting di hari kedua.
Kali ini saya akan posting tentang fenomena film kartun. Kenapa saya pilih topik ini? karena tadi malam saya menonton Program Plus Minus di Kompas TV, kebetulan membahas tentang film kartun.
Ada yang suka film kartun?
Rata-rata oranng pasti menggemari film kartun.
Pada masa saya berumur 5 tahun, hari Minggu itu agendanya menonton film kartun di layar kaca. Pada masa itu (tahun 90'an) film kartun yang sering saya tonton adalah Chibi Maruko Chan, P-Man, Doraemon, Dragon Ball, Detective Conan, Hachi dll.
Saya rasa, penayangan film kartun pada zaman dahulu adalah satu minggu sekali. Namun sekarang?
Setiap hari kita bisa nonton film kartun dengan bebas. Memang sich, film kartun itu cenderung untuk anak-anak. Namun, bagaimana tentang film "Naruto"? Apa film itu memang ditujukan untuk anak-anak? Sudah jelas banyak adegan fighting meskipun para penggemar film Naruto berkilah banyak kata-kata bijak . Iya sich, walaupun saya tidak begitu mengikuti cerita Naruto, tapi teman-teman saya banyak yang cosplay jadi pemeran Naruto.
Terus ada film Spongebob Squarepants, apa film itu benar-benar mendidik?
Terkadang ada kata-kata yang tidak sepatutnya didengar oleh anak-anak. Saya sempat kaget karena kata-kata yang terlontar dari mulut keponakan saya yang berumur 6 tahun tidak pantas didengar. Saya tanya darimana dia mengenal kata-kata itu. Dengan polosnya, dia menjawab dari film kartun,
Aduh, miris sekali..... Lalu KPI hanya diam terhadap maraknya film-film kartun yang kurang mendidik.
Semoga perfilman kartun di Indonesia semakin berbenah.
Wassalammualaikum, wr., wb.,
Selasa, 12 Januari 2016
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya suka juga menonton film kartun sampai sekarang. Seru dan menarik soale..
BalasHapusLucu juga kadang2..
Iya Bang...saya juga suka, tapi intensitasnya dikurangi. Sekarang, aku lebih suka nonton video pembelajaran yang dikemas dalam bentuk kartun. Itu sangat cocok sebagai media pembelajaran untuk murid-muridku. Selain gambarnya bagus, ilmunya pasti akan terserap dengan sendirinya.
HapusBismillah... salam kenal mba Yumi ^~^
BalasHapusMohon tegur saya jika saya salah, ya :D
Saya suka kartun. Sukaaaaa banget! *apalagi animasi jepang* #JapanLover
suka dari SD.
hehe.. tapi tak menampik pula minus yg dihadirkan oleh hal yg saya suka tsb, yaitu kartun.
Mungkin karena sekarang saya sudah besar, apapun yg saya lihat dan dengar, berharap selalu mengambil sisi positifnya.
Dan untuk anak-anak Indonesia, Intan rasa kartun memang harus sangat selektif. Karena apa? karena kurangnya edukasi. bukan bermaksud merendahkan. Di satu sisi, memang anak bangsa merupakan anak yg pandai-pandai. Namun, di satu sisi, anak bangsa juga masih banyak yg cukup edukasi dalam keluarganya sehingga belum maksimal memfilter tontonan, termasuk kartun.
Jadi Intan setuju2 aja dengan adanya lembaga sensor kartun. meski sensornya kurang maksimal. Dan... kurang diimbangi *lirik sinetron*. Intan rasa, sinetron itu bentuk live action dari kartun. Miris...
Lalu, overall tulisan mba yumi cukup mengkritik. Kalau bisa ada lanjutannya yg lebih mendetil. Biar makin nyentil baik secara kekurangan maupun kelebihannya. ^^
semangat mba yumiiii ^^9!!!
Salam kenal Mbak Intan...
HapusSuka anime Jepang juga yaa?
Sesama pengagum Jepang, kita pasti bisa sering sharing ttg Jepang. Nama penaku juga dari Bahasa Jepang lhoo... Yuumeina Ryuri (kerasa banget 'kan Jepangnya, padahal aku orang Jawa tulen lhoo...)
Ya, aku belum sampaikan kelebihan atau kekurangannya. Mungkin bisa jadi bahan tulisan selanjutnya. Makasih Mbak Intan atas krisannya.
saya juga penyuka kartun mba. tapi sekarang sudah jarang. memang sangat perlu pendampingan orangtua agar anak dididik untuk mengerti mana yang baik dan mana yang buruk.
BalasHapusbagus mba. lanjutkan
Ternyata orang dewasa juga banyak yg suka kartun. Saya juga. Namun, orang awam kan tahunya kalau film kartun itu untuk anak kecil saja. Jadi, orang awam beranggapan bhw org dewasa yg suka film kartun itu kekanak-kanakan. Nggak juga sich... Tergantung individunya ajja.
HapusOrangtua memang harus mendampingi anak-anaknya dalam menonton film. Harus ada filternya. Namun, sekarang yang ada bukan malah mendampingi, tapi membiarkan anak-anaknya utk nonton TV sendiri, sampai tak kenal waktu belajar. Itu tak patut untuk ditiru.