Kamis, 22 Mei 2014

Selepas Membaca “Sepasang Kembang Mayang”


Selepas Membaca “Sepasang Kembang Mayang”






Hari Sabtu (10/5/14) sore, buku “Sepasang Kembang Mayang” baru mendarat di tanganku pasca dikirim dari Diandra Creative Publishing, Jogjakarta. Aku bahagia, karena karyaku telah berhasil dimuat dalam sebuah antologi sarat akan makna. Antologi yang disusun oleh jiwa-jiwa yang tulus sebagai persembahan untuk Sang Pengagum Senja yang terlebih dahulu bertemu dengan senjanya.
Sebenarnya, aku masih mengumpulkan sejuta keberanian dan kesiapan mental untuk melahap isi tersebut. Sempat aku berujar pada temanku, “Aku hanya menunggu saat tepat untuk membacanya, ketika jiwaku sudah mampu menerima segala konsekuensi dan reaksi yang ditimbulkan setelah membaca buku tersebut. Menuliskan kisahnya saja tanganku bergetar, apalagi membacanya.”
Teoriku tak selalu benar, apalagi aku memang tak se-genius Albert Enstein, Newton, Alexander Graham Bell, Archimedes dan ilmuwan lainnya. Disebabkan karena testimoni teman yang sudah membacanya, aku jadi tergoda untuk membuka sampul plastiknya secara perlahan dan mereguk kisah-kisahnya.
Aku mulai membacanya saat midnight (tgl 12 Mei 2014 menjelang tgl 13 Mei 2014). Kurasa, malam itu adalah saat yang tepat karena suasana tengah malam begitu hening sehingga aku dapat meresapi kata demi kata. Aku mengatakan pada diriku sendiri,”Aku pasti kuat, aku nggak boleh nangis. Aku ikhlas.”
Aku membuka lembar pertama. Senyumku terkembang. Karyaku yang berjudul ‘Isyarat Senja’ dijadikan sebagai karya pembuka yang akan menggiring pembaca menuju karya-karya fenomenal lainnya. Aku juga turut membaca karyaku sendiri, meskipun aku sudah tahu jalan ceritanya.
Beberapa lembar aku buka, aku baca, aku hayati, dan mulai meresapi setiap makna yang tersimpan. Aku menangguhkan kesedihan yang tersimpan di jiwa, hingga menyesakkan dadad. Lama-kelamaan, aku tak mampu lagi berpura-pura membendung perasaanku. Finally, beberapa butiran bening keluar juga dari pelupuk mataku. Aku mengingkari komitmen di awal. Lalu , aku menata hatiku kembali, kuambil tisu dan kuhapus air mata yang tersisa seraya berbisik dalam hati, “Tetap tenang, tetap membaca, dan tak aka nada air mata setelah ini.”
Kusadari, ternyata bukan hanya aku saja yang mengalami kisah romantisme bersama pengagum senja (julukan yang kami sematkan kepada Alm. Muhammad Mubarok-mantan Ketua FLP Pati tahun 2011-2013- karena beliau begitu mengagumi senja). Terbukti ada 19 penulis berbakat lainnya (selain aku) yang menuliskan kisah kenangan bersama beliau yang dikemas secara elegan dalam antologi “Sepasang Kembang Mayang”, sehingga pembaca terhanyut dalam detail kisah-kisahnya.
Karya antologi ini dapat dinikmati oleh orang-orang beruntung yang mengenal beliau maupun orang-orang awam yang ingin mengenal beliau melalui deskripsi-deskripsi kisah nyata. Itulah alasan sebenarnya mengapa kami berkewajiban untuk mengabadikan moment-moment tersebut dalam sebuah karya antologi. Demi sebuah pelajaran berharga yang akan bermanfaat bagi para generasi muda, calon pemimpin bangsa Indonesia.

#Terima kasih Kak Barok, impianmu untuk bertemu dengan senja telah terkabul. Semoga engkau bahagia di surga. Terkirim surat Al-Fatihah sebagai hadiah terindah untukmu.

-YUMEINA RYURI-
Pati, 22 Mei 2014

0 komentar:

Posting Komentar