Impian Tiada Batas
Oleh: Yumeina Ryuri
Mentari di ufuk timur masih menggeliat malu-malu. Suara
kicauan burung bersahutan menyambut dinginnya pagi.
Hiruk pikuk terdengar dari orang-orang yang mengadu nasib menjadi pedagang di
pasar Anggrek Indah.
Di sebuah kapling toko penjual sembako, Pak Kartono dan
Bu Sarinah berbincang-bincang mengenai masalah perdagangan yang selalu bergulir.
“Pak, cabe dan bawang merah naik
lagi,” kata Bu
Sarinah.
“Aduh Bu. Gimana ini? Masyarakat sekitar sini masih
berdaya ekonomi di bawah rata-rata. Kalau begini caranya, apa impian kita
mempunyai anak seorang dokter akan musnah?”
“Tidak Pak. Yama harus tetap
bersekolah. Yama adalah harapan kita di masa depan, Pak. Yama harus jadi dokter
agar bisa memperbaiki ekonomi keluarga.”
Semangat Pak Kartono dan Bu Sarinah selalu
berpijar agar anaknya menjadi orang yang sukses. Kini anak mereka yang bernama
Yama Pradibta mulai menapaki indahnya masa SMA. Masa yang rentan akan segala
tindakan yang terkadang di luar batas kewajaran. Untuk itu, Pak Kartono dan Bu
Sarinah selalu membekali Yama dengan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dan
IMTAQ (Iman dan Taqwa). Mereka
memulai
perjuangan hari ini juga.
Hingga hari-hari yang akan melukiskan
cahaya keindahan. Hidup ini penuh tantangan. Tak ada jalan lain selain
menghadapinya dengan berdiri tegak dan gagah berani. Bukan berjalan dengan wajah sombong yang
selalu merendahkan orang lain. Berkat didikan orang tuanya, Yama tumbuh menjadi
pribadi yang cerdas. Kini Yama memasuki masa SMA. Akankah masa ini akan seindah
masa-masa sebelumnya?
***
“Yama...!” terdengar suara Ronald memanggil
Yama. Ronald adalah teman sekelas Yama.
“Ada Ronald?”
“Nanti sepulang sekolah belajar bareng ya? Ada PR Bahasa Inggris dari Miss July,”
“Okay
Ronald. Nanti
kutunggu di gerbang sekolah ya.“
Bel sekolah pun berdering. Waktunya pulang sekolah.
Murid-murid pun berhamburan
keluar. Saat-saat seperti itulah yang
paling ditunggu anak-anak. Tak dapat dipungkiri memang.
Bagaikan burung yang menghirup udara bebas setelah keluar dari sangkarnya.
“Ronald, maaf aku pulang dulu ya. Tiba-tiba bapakku telepon. Aku disuruh mengantarkan beras ke rumah
Bu Winarni,”
“Batal deh rencana kita belajar bareng. Aku ‘kan nggak bisa Bahasa Inggris,” raut muka Ronald berubah menjadi
masam.
“Tenang saja. Nanti sore aku akan ke rumahmu. Siapkan saja makanan yang banyak
untukku,” kata Yama sambil tertawa.
“Benarkah? Okay. Sampai jumpa nanti sore. Kalau ingkar
janji, awas ya!”
Yama melangkah pulang. Sesampai di rumah, ia makan siang kemudian tak lupa
melaksanakan ibadah. Pak Kartono memanggil Yama.
“Yama, tolong antarkan beras ini ke rumah
Bu Winarni. Ibu Winarni tidak bisa ke sini karena kakinya sakit. Ini ada
sedikit buah, tolong berikan kepada Ibu Winarni dan sampaikan salam ayah dan
ibu untuknya,”
“Baik Pak, aku pergi dulu ya, Assalammu’alaikum?”
“Wa’alaikumsalam.”
Yama menaiki kendaraan bapaknya menuju
rumah Bu Winarni. Rumah Bu Winarni cukup dekat. Tepatnya di desa sebelah.
“Permisi, Bu Winarni?” Yama mengetuk pintu.
“Siapa itu?”
“Yama Bu, anak Pak Kartono,”
“Masuk Nak, maaf Ibu tidak bisa membukakan pintu, kaki
Ibu sakit,”
“Ibu tinggal sendirian?”
“Ya beginilah Nak. Kedua anak Ibu merantau. Yang satu tinggal bersama keluarganya di
Jakarta, yang satu ada di Jepang,”
“Wow, Jepang? Jadi
apa Bu?”
“Anak Ibu bernama Dennis. Dia bekerja di sebuah perusahaan
elektronik di Jepang.”
Ibu Winarni bercerita banyak tentang
anaknya. Yama sungguh terkesan. Yama mengagumi Dennis yang sudah meraih
kesuksesan di Jepang. Sempat terlintas di benak Yama untuk mengikuti jejak
Dennis.
***
Kebakaran, kebakaran, kebakaran...!”
Terdengar hiruk pikuk suara teriak dan
tangis ketakutan di mana-mana. Pasar tradisional itu dilalap Si Jago Merah. Api berkobar begitu cepat
sehingga bangunan-bangunan di pasar lenyap dengan sekejap. Musibah datang.
“Pak, Pak ada kebakaran. Kios kita kebakaran, Pak!” teriak
Bu Kartinah penuh isak tangis.
“Ibu ngomong apa? Beneran Bu? Ayo pergi ke pasar sekarang
juga. Semoga saja masih ada barang yang bisa diselamatkan,”
Setiba di pasar, api semakin menjalar
kemana-mana.
“Pak, bagaimana ini? Api semakin besar. Kita
tidak mungkin masuk ke sana,”
“Tapi ada sedikit uang di sana Bu. Itu untuk uang sekolah Yama. Aku harus
mengambilnya,”
“Jangan Pak.
Biarkan saja. Kita dapat mencarinya lagi. Nyawa Bapak lebih penting. Apa kita harus
memberi tahu Yama sekarang?”
“Jangan Bu! Biarkan Yama belajar. Biar Yama tahu
sendiri. Yama tidak boleh bolos sekolah karena hal ini. Sekolah lebih penting.”
Api di mana-mana. Semua habis. Tak tersisa. Hanya pilu yang tersisa.
Pak Kartono tidak memberi tahu Yama. Pak Kartono tidak ingin menghancurkan masa
depan anaknya sendiri. Pak Kartono berjanji akan berjuang dari awal lagi agar
Yama bisa menjadi dokter seperti harapannya semula.
***
Yama masih di sekolah. Yama masih ulangan
Bahasa Inggris. Tiba-tiba kepala Yama pusing. Huruf-huruf berbahasa Inggris
terasa menari-nari dengan gemulai. Yama tidak konsentrasi mengerjakan ulangan. Seusai
ulangan, bel istirahat berdering.
Yama dan Ronald pergi ke kantin.
“Bu, pesan soto ayam dua,” pesan Ronald.
“Oh,
maaf Mas, hari ini tidak ada menu soto ayam. Kios pedagang ayamnya kebakaran.
“Bagaimana sih Bu? Ya udah yang lain
saja. Mie goreng dua dan dua es teh manis,”
“Yama, tadi bagaimana ulangannya? Pasti
kamu tidak menemui kesulitan,”
“Siapa bilang? Tadi kepalaku pusing. Aku
tidak bisa konsentrasi,”
Tidak lama kemudian, dua piring mie
goreng dan dua gelas es teh manis terhidang di meja.
“Lho kok mie goreng, Nald? Biasanya kamu
kan pesan soto ayam,”
tanya Yama.
“Oh, iya. Tadi aku belum ngomong ya sama kamu, maaf
sebelumnya, aku pesen mie goreng karena hari ini nggak ada soto ayam,”
“Kenapa? Tumben sekali,”
“Katanya kios pedagang ayamya kebakaran,
entah benar apa nggak,”
“Duh, kasian sekali ya. Pasti terjadi
kerugian yang sangat besar.”
Yama tidak menyadari ucapannya itu. Ucapan tersebut pantas dialamatkan kepada
keluarganya sendiri. Sayangnya Yama belum mengetahui hal itu. Entah
bagaimana reaksi Yama setelah mendengar kabar itu.
***
Akhirnya
pelajaran di sekolah selesai. Yama pulang sekolah. Bapak dan Ibunya terlihat
seperti biasa, seperti tanpa masalah. Sepertinya mereka ingin merahasiakan
kebakaran itu dari anak semata wayangnya.
“Pak, sore ini Yama tidak bisa membantu
Bapak di pasar karena Yama ikut ekstrakurikuler Bahasa Jepang,”
“Bahasa Jepang? Sejak kapan kamu belajar Bahasa Jepang
Nak?”
“Itu pelajaran ekstrakurikuler di sekolah
Pak. Aku ikut ekstrakurikuler ini sejak kelas 2,”
“Apa itu tidak menggangu belajarmu? Ingat
Nak, kamu harus jadi dokter. Itu harapan Bapak dan Ibu,”
“Iya, Pak. Yama selalu ingat.”
Tersirat keraguan di wajah Yama. Yama
bimbang. Sebenarnya Yama tidak ingin jadi dokter. Yama ingin menjadi seseorang
yang ahli di bidang teknologi. Yama
ingin menguasai dunia dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Yama bermimpi
untuk menjadi penemu program komputer yang kelak bermanfaat bagi dunia. Yama yakin, hal itu pasti dapat diraihnya
dengan belajar dengan giat. Yama memang tertarik dengan pelajaran yang
berkaitan dengan teknologi, tetapi nasi telah menjadi bubur. Bapaknya mengirim
Yama ke sekolah SMA biasa, bukan sekolah yang mempelajari hal tertentu saja,
seperti SMK. Itu tidak jadi masalah bagi Yama. Yama bergabung dengan
teman-teman yang mempunyai hobi yang sama dengannya. Istilah di bidang teknologi
bukanlah menjadi hal yang asing bagi Yama.
***
“Anak-anak, kalian pasti sudah mendengar
tentang berita kebakaran pasar Anggrek Indah. Kejadiannya di luar dugaan. Kerugian tidak terhitung lagi.” Bu Arimbi
memulai pelajaran dengan terlebih dahulu melontarkan keprihatinannya atas
peristiwa tersebut.
“Pasar Anggrek Indah? Itu ‘kan pasar di mana toko
Bapakku berada? Kenapa aku baru tahu sekarang? Bagaimana toko Bapakku?”
Sejuta
pertanyaan berkecamuk di benak Yama. Kenapa dia tidak mengetahui hal sepenting
ini. Mungkin Yama terlalu sibuk mempersiapkan Ujian Akhir Nasional yang akan
diadakan 4 bulan lagi. Yama merasa tak tenang. Yama meminta izin untuk pulang
ke sekolah dengan alasan tidak enak badan. Mungkin tidak hanya tak enak badan,
pikiran pun jadi tak karuan. Yama segera
berlari menuju rumah.
“Bapak, Ibu?” Yama segera mencari keberadaan orang
tuanya.
“Ada apa, Yama? Kamu kok sudah pulang? Kamu membolos
ya? Mau jadi apa kamu ini?” Pak Kartono
terlihat marah melihat anaknya membolos sekolah.
“Silakan Bapak memarahi Yama. Yama memang
mengaku salah karena telah membolos sekolah. Yama pulang lebih awal karena ingin
menanyakan keadaan
keluarganya yang sedang ditimpa musibah kebakaran, apa itu salah?”
“Yama, bukan maksud kami merahasiakan hal
tersebut. Kami tidak ingin mengganggu sekolahmu, Nak. Ujian kelulusan tinggal 4 bulan
lagi,” jawab Bu
Kartinah disertai airmata yang memilukan.
“Kamu tidak usah khawatir Nak, Bapak masih bisa membiayai
sekolahmu hingga menjadi dokter,”
“Dokter? Menjadi dokter tidak mudah, Pak?
Kuliah kedokteran membutuhkan biaya yang besar. Kita harusnya menyadari hal
itu, Pak. Lagipula cita-citaku bukan ingin jadi dokter. Menjadi dokter memang
cita-cita yang sangat mulia, tetapi jiwaku belum terpanggil di bidang itu. Aku
ingin jadi ahli di bidang teknologi Pak,”
“Pokoknya kamu harus jadi dokter!” kata
Pak Kartono dengan tegas.
“Kita bicara tentang realita saja Pak. Kios kita telah terbakar, mata pencaharian sehari-hari telah melayang. Aku
tidak ingin membebani Bapak dan Ibu,”
“Baiklah, apa yang kamu bisa hasilkan
dengan menjadi ahli di bidang teknologi? Pekerjaan yang tidak jelas!” kata Pak Kartono sambil memalingkan
muka.
“Baik, Pak. Aku akan membuktikannya suatu
saat nanti. Izinkan aku untuk membuka usaha rental dan service komputer,
Pak. Izinkan aku membantu keluarga ini, Pak.”
Pak Kartono dan Bu Sarinah terlihat
berkaca-kaca. Ternyata selama ini mereka belum memahami anaknya. Pak Kartono
merasa bersalah karena terlalu mempertahankan egonya daripada berpikir secara
rasional. Mulai sekarang Pak Kartono memberi kesempatan kepada Yama untuk
meraih mimpinya, meski bukan jadi seorang dokter.
***
Kini Yama membuka sebuah sebuah rental
dan service komputer. Yama juga harus tetap rajin belajar agar
mendapatkan nilai yang memuaskan dan dapat meraih cita-citanya. Yama tidak
pantang menyerah, Yama selalu mempunyai semangat untuk selalu berjuang. Setelah
lulus sekolah, Yama ingin melanjutkan kuliah di bidang Teknologi dan Informasi.
“Nak, nanti malam kita diundang ke
rumahnya Bu Winarni,”
“Ada acara apa, Pak?”
“Bu Winarni mengadakan syukuran atas
kepulangan anaknya dari Jepang. Sekarang anaknya menjadi orang sukses,”
“Benar Pak? Yama pasti akan jadi orang sukses juga,
Pak!”
“Amin. Bapak
selalu mendoakanmu.”
Pak Kartono sekeluarga menghadiri acara
syukuran tersebut. Yama bertemu dengan Mas Dennis.
“Selamat ya Mas Dennis atas kesuksesannya,” Yama berjabat tangan dengan Mas
Dennis.
“Kamu Yama ya? Ibuku bercerita banyak
tentangmu. Kamu sungguh pemuda yang luar biasa,”
“Ya, Mas. Aku luar biasa? Bukan, Mas. Aku
hanya manusia biasa yang selalu berbuat salah dan khilaf.
Tawa pun pecah. Obrolan berlanjut. Mas
Dennis menceritakan pengalamannya tinggal di Jepang. Yama tertegun kagum.
“Oh iya, Yama, kepulanganku ke Indonesia
sebenarnya hanya sebentar. Aku hanya ingin mencari sepuluh pemuda dari Indonesia
yang menguasai teknologi untuk mendapatkan beasiswa dari perusahaanku. Menurutku, kamu cukup berpotensi. Apa
kamu berminat ?”
“Wah, sangat berminat sekali, Mas. Tapi,
aku belum lulus SMA,”
“Tenang saja. Aku diberi waktu 4 bulan untuk mencari
sepuluh pemuda itu.”
Yama segera menyampaikan berita gembira
ini kepada orang tuanya. Bapak dan ibunya
sungguh terkejut. Yama diperbolehkan oleh bapaknya menerima beasiswa itu, apabila
Yama berhasil mendapat nilai rata-rata 9 di Ujian Akhir Sekolah. Yama setuju.
Yama semakin giat belajar menjelang ujian.
***
Akhirnya Ujian Akhir Sekolah telah
selesai dilaksanakan. Sebulan kemudian, Yama dapat melihat hasil jerih payahnya
selama ini. Rata-rata nilai 9 sudah terpenuhi. Izin menerima beasiswa sudah
diraih Yama. Yama segera menyampaikan kabar tersebut kepada Mas Dennis.
Keberangkatan ke Jepang tinggal menghitung hari.
Impian Yama tinggal selangkah lagi.
Impian Yama tak lagi angan-angan yang tak jelas. Impian Yama menembus batas-batas
pikiran manusia yang terkadang irasional. Impian Yama akan menjadi kenyataan.
Negeri Bunga Sakura menyambut Yama
dengan senyuman ramah. Negeri Sakura akan mewujudkan impian Yama. Cerita
kesuksesan Yama akan berawal dari Negeri Sakura.