Bukan Janji Merpati
Oleh Yumeina Ryuri
Seringkali
kita mendengar ungkapan “Merpati tak Pernah Ingkar Janji”. Sebegitu setia
sepasang merpati dalam ikatan asmara, hingga tak ada niat untuk berpisah.
Sayangnya, kita manusia, yang terkadang lupa atau khilaf. Namun, kita harus
selau bersyukur karena kita ditakdirkan sebagai makhluk paling sempurna di alam
semesta.
Kisah
asmaraku pun sama, kadang pasang, kadang tenggelam. Namun, aku tak pernah
menyalahkan siapapun atas tragisnya drama cintaku ini. Hal ini bermula saat aku
mengenal Maulana Adi Putra, seseorang yang mampu membuat hariku berbunga-bunga.
Aku sempat memujanya bagai dewa, sebelum aku tersadar akan pedihnya cinta.
***
Lima
tahun silam, kala itu aku masih berseragam putih abu-abu. Aku belajar kelompok
di rumah teman, namanya Hesty. Di sana, aku bertemu dengan Maulana.
“Him,
kamu bisa mengerjakan soal no 5?”
“Aduh
Hes, soal ini sulit sekali.”
“Gimana ya? “
“Tanya
teman saja gimana?”
“Hmm…bentar Him, kamu tunggu sebentar ya…aku
akan segera kembali.”
Lima
menit kemudian, Hesty muncul dengan seseorang yang bertubuh tegap.
“Him,
kenalin ini Maulana.”
“Aku
Himawari, panggil saja Hima.”
“Aku
Maulana. Cukup panggil aku Lana.”
Lana
bagaikan dewa penolong untukku dan Hesty. Dia sangat jago sekali pelajaran
Matematika. Diam-diam, aku curi-curi pandang melihat bening matanya.Aku
benar-benar terpesona.
***
“Him,
malam minggu kita ke bioskop ya?”
“Hmm…gimana yaa?”
“Sudah,
ikut saja Him, Lana juga ikut kok.”
“Apa
aku tidak mengganggu kalian berdua?”
“Hello
Hima…memang kita pacaran? Aku udah
anggap Lana sebagai saudara.”
“OK….deal.”
***
Di
bioskop, kami bertiga menonton film bergenre romantis. Tanpa sengaja, aku
melihat bulir bening di mata Lana. Dia sangat menghayati film yang sedang
diputar. Aku jadi simpati terhadapnya. Hal itu menandakan bahwa dia adalah tipe
cowok yang romantis.
Film
usai, kami bertiga pulang. Lana berbisik lirih padaku, mengisyaratkan sesuatu,
“Him,
minggu depan kita nonton bareng ya,”
“Bertiga
maksudnya?”
“Hanya
aku dan kamu.”
Aku
mengangguk. Hesty tidak menyadari hal ini. Dia masih asyik dengan ponselnya,
menyapa teman-temannya di dunia maya.
***
Sepulang
dari bioskop, hubunganku dengan Lana semakin lengket bagai jenang. Meskipun
belum ada kata jadian, setidaknya sinyal-sinyal asmara dengan lancar berkirim
pesan. Sampai suatu sore, Lana mengajakku berjumpa di taman kota penuh bunga.
“Him,
apa kamu suka hal-hal yang berkaitan tentang Jepang?”
“Ya…benar
sekali.”
“Kamu
bisa bahasa Jepang?”
“Lumayan,
masih proses belajar. Memang ada apa?”
“Kamu
pasti tahu artinya aishiteru
‘kan?
“Artinya
aku cinta kamu.”
“Aku
juga cinta kamu, Him.”
Deg,
Lana menatapku lekat. Aku terdiam membisu, mematung tanpa suara. Serasa ada
angin segar yang merasuk ke dalam aliran darahku. Aku bahagia.
“Aishiteru, Hima,” Lana mempertegas perasaanya sambil
memberiku seuntai mawar merah.
“Watashi mo,
Lana.” aku tersipu malu.
***
Ternyata
impian kami sama. Kami sama-sama ingin merasakan aroma bunga sakura di negeri
aslinya. Kami ingin merasakan suasana hanami di bawah bunga sakura yang
bermekaran. Kami ingin menonton bunraku dan kabuki di sebuah panggung pentas
yang megah. Kami juga ingin memandang lepas keindahan gunung Fujiyama yang
menyimpan legenda.
“Him,
percayalah, aku akan membawamu terbang ke Negeri Sakura.”
“Janji?”
Lana
mengangguk. Kami saling mengkaitkan jari kelingking pertanda pengikat janji.
Semoga tak ada yang berniat untuk mengingkari.
***
Kami
belajar Bahasa Jepang bersama-sama. Kami saling memberikan motivasi satu sama
lain. Bahkan, kami pernah melakukan hal yang mustahil. Kami mengikuti kuis di
media jejaring sosial yang berhadiah liburan ke Jepang. Hitung-hitung bisa ke
Jepang secara gratis.
Mungkin
nasib baik belum berpihak kepada kami. Namun, kami selalu percaya, banyak jalan
menuju Jepang. Dengan usaha yang gigih, kami yakin akan menginjakkan kaki di
Negeri Sakura.
***
Waktu
melesat bagai anak panah. Kami sudah menanggalkan seragam putih abu-abu. Kami
sudah lulus SMA. Lana berniat melanjutkan kuliah di Jakarta.
“Him,
aku ingin bicara.”
“Iya,
Lan, aku di sini.”
“Aku
harus kuliah di Jakarta, demi cita-citaku untuk membahagiakan orang tua.”
“Itu
berarti hubungan kita usai?” aku terlalu cepat mengambil kesimpulan.
“Bukan
seperti itu Him, hanya hubungan kita menjadi LDR. Itu saja.”
“LDR? Itu tak semudah yang kita bayangkan.”
“Kita
harus mencobanya, Him.”
“Aku
tak mau tersiksa karena menanggung rindu padamu.”
“Aku
akan mengunjungimu setiap liburan semester.”
“Apa
kamu sungguh-sungguh Lan?”
“Aku
janji. Bukankah merpati tak ‘kan pernah ingkar janji?” Lana mencoba meyakinkanku.
Aku
beranjak dari tempatku semula. Lana menghampiriku, tampaknya dia
mengkhawatirkanku.
“Him,
kamu baik-baik saja?”
“Lana,
aku hanya butuh waktu untuk berpikir sejenak.”
“Baiklah,
sebaiknya aku pulang agar kamu dapat berpikir dengan tenang.”
***
Keesokan
harinya, aku menemui Lana. Aku punya cita-cita, Lana juga punya cita-cita.
Jangan sampai keegoisanku menjadi penghalang untuk kesuksesan Lana.
“Lana,
aku ikhlas kalau hubungan kita menjadi LDR.”
“Benar
Him? Kau benar-benar Himawari-ku.”
“Aku
tersadar Lan, aku tidak boleh egois. Aku akan selalu mendoakanmu, semoga
cita-citamu dapat terwujud.”
“Terima
kasih Him, di saat aku sukses nanti, kita akan bersama-sama mereguk manisnya
pesona bunga sakura di negeri asalnya.”
“Semoga
saja,” aku memeluk Lana, sekaligus melepas kepergiannya demi sebuah cita-cita
mulia.
***
Satu
tahun berlalu, dia masih sering mengirimiku sebuah kabar, meski hanya lewat
dunia maya. Romantisme selama satu tahun ini masih terjaga. Aku juga sering
mengiriminya puisi. Salah satu puisi teristimewa untuk Lana:
Aku dan kau nyata
Meski sering berjumpa di dunia maya
Aku di sini
Kau di sana
Kita sama-sama memandang cahaya
rembulan
Masih di langit yang sama
Bersandar diri pada teduhnya pepohonan
rindang
***
Tiga
tahun kemudian, hubungan kita mulai renggang. Terakhir, dia memberi kabar bahwa
dia baik-baik saja, tetapi dia tidak bisa sering-sering menghubungiku karena
sedang menyelesaikan tugas akhir (skripsi). Aku memakluminya, dan berharap dia
segera kembali dengan gelar sarjana.
***
Tahun
2013, Lana tak memberi kabar sama sekali. Kami lost contact. Aku mendapat kabar dari Hesty bahwa Lana telah
diwisuda. Aku turut bahagia mendengarnya.
Lana
menghilang bagaikan di telan bumi. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi. Mana janji merpatimu, Lana? Apa mungkin
aku yang terlalu bodoh, menanti seseorang yang jelas-jelas tak memperdulikanku.
Kami memang tidak ditakdirkan untuk menjadi sepasang merpati.
Apakah
sepahit ini obat yang harus aku telan? Mungkin ini akan membuat hatiku terasa
sakit di awal, bagaikan tercabik-cabik oleh cakar yang tajam. Namun, seiring
berjalannya waktu, tenagaku pasti pulih kembali menjadi sehat secara raga dan
pikiran. Dan, sejauh ini, titik jenuh telah memberiku energi untuk menata
hidupku kembali demi sebuah kesuksesan. Sudah
cukup Lana, aku tak akan mencarimu lagi.
Sayup-sayup
kudengar lagu Geisha-Lumpuhkan Ingatanku mengalun indah. Aku serasa jadi tokoh
utama dalam lagu tersebut. Tuhan, lumpuhkanlah ingatanku tentang Lana, tentang
sakit hati yang teramat perih ini. Biarkan kubawa perih ini sampai nafas
terhenti.
***
Meski
tak mudah melupakan Lana, aku harus mencoba menghapus memori-memori indah
tentangnya. Aku menenggelamkan diri dalam pekerjaan, sebagai tour guide. Kebetulan saat ini aku
sedang menjadi tour guide turis asal
Jepang di Candi Borobudur, namanya Miyane.
Singkat
cerita, Miyane memberiku tawaran untuk
bekerja di Jepang, di perusahaan orangtuanya. Aku tak akan menyia-yiakan
kesempatan ini. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk move on, terlepas dari ingatan tentang Lana.
***
Di
Tokyo, aku tinggal di sebuah rumah sewaan. Miyane sering mengunjungiku. Aku
bekerja di perusahaan fashion milik
orang tua Miyane.
Minggu
pagi, Miyane mengajakku jalan-jalan berkeliling Tokyo. Di tengah perjalanan,
aku berhenti. Tampaknya aku melihat Lana. Iya, dia benar-benar Lana. Dia
berjalan dengan gadis Jepang yang cantik parasnya. Pandangan kami saling
beradu. Bagaikan duri yang menghujam jantungku.
Lana
menghampiriku. Aku berbalik dan mempercepat langkahku. Lana berlari mengejarku.
Aku memang terlalu lemah, sehingga dia mampu menghentikan langkahku. Dia
berdiri di hadapanku.
“Hima,
ternyata kamu di Jepang juga.”
“Iya,
dan kita tak ada hubungan lagi.”
“Apa
kamu marah padaku, Him?”
“Tanpa aku menjawabnya, kau pasti sudah tahu
jawabannya.”
“Maafkan
aku Him, ini karena keadaan.”
“Dan,
kamu menikmatinya ‘kan?”
“Kamu
salah Him, semua berjalan dengan cepat. Setelah aku lulus kuliah, aku mendapat
panggilan kerja dari salah satu perusahaan di Jepang. Maafkan aku, Him.”
“Tiada
guna lagi kata maaf, itu tak akan mampu mengobati sakit hatiku.”
“Him,
izinkanlah aku untuk menebusnya.”
“Lihatlah
gadis Jepang itu,
Lana! Jangan karena keegoisanmu, kau menyia-yiakan dia. Cukup aku yang
merasakan dikhianati. Jangan kau sakiti hatinya. Pergilah, Lan, jalan kita
sudah berbeda.”
Gadis
Jepang itu melambaikan tangan memanggil Lana. Lana menghampiri gadis Jepang
itu. Meskipun sakit, aku rela. Aku ikhlas melihat Lana bersanding dengan gadis
lain. Aku harus benar-benar melupakan Lana. Cinta sejati adalah merelakan orang
yang kita sayangi bahagia, meski bukan dengan kita.